Usaha
mengembangkan kualitas sumber daya manusia menjadi semakin penting bagi setiap
bangsa dalam menghadapi era persaingan global. Tanpa sumber daya manusia yang
berkualitas, suatu bangsa pasti akan tertinggal dari bangsa lain dalam
percaturan dan persaingan kehidupan dunia internasional yang semakin
kompetitif. Pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas menjadi
tanggung jawab pendidikan nasional. Pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar murid
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan spiritual,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 tahun 2003).
Bapak Pendidikan
Indonesia, Ki Hadjar Dewantara memberikan acuan bagi kita sebagai guru bahwa
pendidikan merupakan suatu proses tuntunan terhadap kodrat yang ada pada murid.
Kodrat tersebut terdiri dari kodrat alam dan kodrat jaman. Kodrat alam
maksudnya hal yang berkaitan dengan lingkungan tempat murid berada, seperti
murid yang tinggal di daerah pegunungan, pantai, atau dataran rendah memiliki
karakteristik lingkungan yang berbeda. Kodrat jaman maksudnya adalah waktu
dimana murid hidup dan berkembang. Murid yang hidup pada tahun 90 an dan murid
yang hidup pada tahun 2000 an, memiliki karakteristik yang berbeda. Pada tahun
2000 an teknologi sudah sangat berkembang dalam mendukung pembelajaran,
misalnya penggunaan youtube, whatsapp, quizizz, dan aplikasi pembelajaran yang
lain. Guru harus memperhatikan kodrat alam dan kodrat jaman tersebut ketika memberikan
tuntunan pada murid.
Konsep lain yang
patut diperhatikan oleh guru dalam proses tuntunan terhadap kodrat yang ada
pada murid adalah karakteristik usia. Menurut Ki Hadjar Dewantara,
terdapat tiga periode usia pada murid, yaitu wiraga (0-8 tahun), wiraga-wirama
(9-16 tahun), dan wirama (7-24 tahun).
(https://www.salamyogyakarta.com/proses-belajar-harus-sejalan-dengan-kodrat-anak-anak/)
Seorang guru penggerak yang memahami filosofi pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara akan dengan mudah mengaplikasikan nilai dan peran guru penggerak dalam mewujudkan visi yang berpihak pada murid. Visi tersebut kemudian diturunkan menjadi prakarsa perubahan menggunakan paradigma inkuiri apresiatif dengan tahapan Bagja. Seorang guru penggerak yang memahami filosofi pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara akan dengan mudah mengaplikasikan nilai dan peran guru penggerak dalam mewujudkan visi yang berpihak pada murid. Visi tersebut kemudian diturunkan menjadi prakarsa perubahan menggunakan paradigma inkuiri apresiatif dengan tahapan Bagja. Dari penerapan tahapan Bagja akan muncul kebiasaan-kebiasaan positif yang akan membentuk suatu budaya positif. Budaya positif merupakan jembatan dalam mewujudkan murid dengan karakter profil pelajar pancasila. Terdapat beberapa konsep dalam penerapan disiplin positif, yaitu